Five Investment Issues in Indonesia

Everything which is made by humans is not perfect, includes all policies and regulations formulated by the government. Most of the initiatives make concern among the relevant stakeholders. According to several stakeholders in Panel Discussion on the Latest Government Policies and Obstacles Faced by Businesses, there are five things related to investment that should be taken into account more. These things are:

Firstly, Legal Compliance Expenses. Nowadays, Our country has the highest load interest of any Southeast Asian Nations, and these are believed as a major problem in term of improving the national business competitiveness, and is also seen as a slowing down economic factor.

Secondly, Licensing Procedures. Complicated and time-consuming license-issuance processing greatly diminishes the development of business operations.

Thirdly, Logistics Procedures. Transporting goods between different regions of the country, as well as to and from foreign countries, was a far from an efficient process. Ministry of Trade obliges businesses to first secure a pre-verification report from the port of embarkation and the long-winded procedures involved in this process places an extra burden on businesses. For instance, ships only take three days to arrive in Bangkok from Jakarta, however securing a pre-verification report takes seven days. The obligation to secure a pre-verification report, therefore, results in lengthy dwelling times for ships.

Fourthly, Negative Investment List Revised. The official launch last February of the government’s new negative investment list (DNI), as a part of its Tenth Economic Policy Package, was also a concern for Indonesian businesses. The revised DNI completely opened up some 35 business sectors to foreign direct investment (FDI), including the crumb-rubber industry and the cold-storage industry. The fear is that an influx of foreign commodities could ultimately cause Indonesian businesses to lose access to their own domestic market. The government’s policies contradict one another. One policy intends to improve a particular matter, while another policy allows for FDI. Eventually, our [local businesses’] access to the domestic market will be exhausted due to the influx of cheap goods from foreign countries.

Fifthly, Infrastructure Budget. This is the result of the country’s high unemployment level, as revealed in recent Central Statistic Board (BPS) data. According to this data, Indonesia’s unemployment level, as of March 2016, stood at some 7.02 million people. Inevitably, the construction of infrastructure will provide new employment opportunities and is thus vital. The construction of infrastructure has to be funded via the state budget, of course, however, hopefully, new infrastructure projects may compensate for the loss of employment opportunities across other sectors.

Memberhentikan Direktur yang Menjadi Pemegang Saham Mayoritas

Saya akan cerita sebuah kasus fiktif yang bisa jadi kita temui dalam kehidupan berbisnis. Ada seorang Komisaris mengeluh karena persoalan hukum yang menimpa Perusahaan XYZ yang didirikannya bersama teman lama. Teman lama Komisaris ini adalah seorang pemegang saham mayoritas dan merangkap sebagai satu-satunya Direktur dalam perusahaan XYZ. Entah mengapa, teman lamanya ini tiba-tiba menyatakan pengunduran dirinya dan menghilang tanpa bisa dihubungi. Sebagai seorang Komisaris, ia tetap menghendaki perusahaannya tetap survive karena pada waktu Perusahaan XYZ dipegang oleh teman lamanya itu, Perusahaan XYZ masih menjalankan beberapa proyek yang diikat kontrak dengan Pihak Ketiga. Pertanyaan yang mengemuka dalam pikirannya adalah bagaimana langkah hukum yang harus diambil oleh orang tersebut dalam kerangka Hukum Perseroan Terbatas.

Kalau saya sebagai konsultan dalam perusahaan tersbut akan saya sampaikan bahwa pertamaptama yang perlu dilakukan adalah pemberhentian Sementara Direksi oleh Dewan Komisaris. Mengingat pemberhentian anggota Direksi oleh RUPS memerlukan waktu untuk pelaksanaannya, sedangkan kepentingan Perseroan tidak dapat ditunda, Dewan Komisaris sebagai organ pengawas yang telah diberikan kewenangan untuk melakukan pemberhentian sementara dapat mengeksekusi langkah tersebut. Dengan kata lain, jika seorang anggota Direksi melakukan kesalahan atau pelanggaran yang  merugikan Perseroan, sangat beralasan untuk segera menghentikannya guna menghindari kerugian lebih besar. Dasar kewenangannya ada pada Pasal 106 UUPT sebagai berikut:

(1) Anggota Direksi dapat diberhentikan untuk sementara oleh Dewan Komisaris dengan menyebutkan alasannya. (alasan yang sama yang digunakan untuk memberhentikan Direksi melalui RUPS)

(2) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis kepada anggota Direksi yang bersangkutan

(3) Anggota Direksi yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berwenang melakukan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) dan Pasal 98 ayat (1). (tugas pengurusan perseroan dan kewenangan mewakili perseroan di dalam atau di luar pengadilan)

(4) Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal pemberhentian sementara harus diselenggarakan RUPS. (mata acara RUPS LB menyangkut keputusan pemberhentian sementara, pemanggilan dilakukan oleh Dewan Komisaris.

(5) Dalam RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) anggota Direksi yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri. (tidak diperbolehkan secara tertulis, harus in person dalam RUPS)

(6) RUPS mencabut atau menguatkan keputusan pemberhentian sementara tersebut. (Keingkaran kehadiran dalam pembelaan dapat diasumsikan Direksi tersebut tidak keberatan, sehingga RUPS dapat menetapkan keputusan untuk menguatkan menjadi pemberhentian permanen).

(7) Dalam hal RUPS menguatkan keputusan pemberhentian sementara, anggota Direksi yang bersangkutan diberhentikan untuk seterusnya.

(8) Dalam hal jangka waktu 30 (tiga puluh) hari telah lewat RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak diselenggarakan, atau RUPS tidak dapat mengambil keputusan, pemberhentian sementara tersebut menjadi batal. (Gagalnya bisa karena Kuorum kehadiran pertama, kedua dan ketiga yang ditentukan pasal 86 UUPT atau Kuorum tercapai namun keputusan yang diambil tidak sah karena tidak disetujui lebih dari ½ bagian jumlah suara yang dikeluarkan)

(9) Bagi Perseroan Terbuka penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (8) berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

Kedua, Komisaris harus segera mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa Menindaklanjuti pemberhentian sementara Direksi oleh Dewan Komisaris, maka sesegera mungkin Dewan Komisaris mengadakan pemanggilan pemegang saham dalam rangka RUPS Luar Biasa untuk menguatkan keputusannya. Mengingat Direktur merupakan pemegang saham mayoritas, tentu RUPS yang biasa dilakukan tidak akan berhasil karena ada aturan kuorum dan pengesahan suara yang keluar. RUPS LB yang diadakan untuk mengubah AD perseroan memang mensyaratkan kuantitas kuorum yang lebih banyak daripada RUPS dengan agenda biasa. Maka dari itu, RUPS LB yang dibuat harus berjenjang sampai RUPS LB Ketiga dimana kita bisa meminta Ketua Pengadilan untuk memberikan pengecualian terhadap kuantitas kuorum dan pengesahan suara dalam RUPS.

1. RUPS LB Pertama

Pasal 88 ayat (1) UUPT berbunyi:

“RUPS untuk mengubah anggaran dasar dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar.”

2. RUPS LB Kedua

Panggilan dilaksanakan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum RUPS LB kedua dilaksanakan.

Pasal 88 ayat (3) UUPT berbunyi:

“RUPS kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam rapat paling sedikit 3/5 (tiga perlima) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar.”

3. RUPS LB Ketiga

Apabila pemegang saham tidak dapat dimintai suara/kehadirannya dalam RUPS LN Pertama dan Kedua, maka Dewan Komisaris meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri terkait kuorum dan jumlah pengesahan suara yang dikeluarkan.

Pasal 86 ayat (5), (6), (7), (8) dan (9) yang berbunyi:

(5) Dalam hal kuorum RUPS kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak tercapai, Perseroan dapat memohon kepada ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan atas permohonan Perseroan agar ditetapkan kuorum untuk RUPS ketiga.

(6) Pemanggilan RUPS ketiga harus menyebutkan bahwa RUPS kedua telah dilangsungkan dan tidak mencapai kuorum dan RUPS ketiga akan dilangsungkan dengan kuorum yang telah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri.

(7) Penetapan ketua pengadilan negeri mengenai kuorum RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap.

(8) Pemanggilan RUPS kedua dan ketiga dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum RUPS kedua atau ketiga dilangsungkan.

(9) RUPS kedua dan ketiga dilangsungkan dalam jangka waktu paling cepat 10 (sepuluh) hari dan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari setelah RUPS yang mendahuluinya dilangsungkan.

Apabila pada saat RUPS LB belum ada orang dapat menggantikan posisi direksi maka komisaris dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu dapat melakukan tindakan pengurusan dan berlaku semua ketentuan mengenai hak, wewenang, dan kewajiban Direksi terhadap Perseroan dan pihak ketiga sesuai pasal 118 UUPT ayat (1) dan (2) yang berbunyi:

(1) Berdasarkan anggaran dasar atau keputusan RUPS, Dewan Komisaris dapat melakukan tindakan pengurusan Perseroan dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu.

(2) Dewan Komisaris yang dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu melakukan tindakan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku semua ketentuan mengenai hak, wewenang, dan kewajiban Direksi terhadap Perseroan dan pihak ketiga.