TKI menanti keadilan dari Negara

Belum selesai persoalan buruh di dalam negeri, TKI yang diluar negeri pun menjerit meminta perhatian dari pemerintah atas segala permasalahannya. Tak ayal berbagai permasalahan TKI silih berganti menjejali pemberitaan di sejumlah stasiun berita. Bisa dikatakan bahwa yang terjadi terhadap TKI adalah wujud kegagalan pemerintah dalam melindungi warga negaranya dan terlebih lagi tidak pernah ada penyelesaian yang tuntas dari pemerintah. Sebagai pengemban amanah konstitusi tentunya pemerintah menyadari tanggung jawab moral untuk melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia baik di dalam negeri maupun di dalam negeri, sebagaimana tertuang dalam Pasal 28 D ayat (2) UUD NRI 1945 bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja dan Pasal 28 I ayat (2) bahwa Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Ketidakmampuan dalam menyelesaikan permasalahan ini sama saja dengan pengingkaran terhadap Undang-Undang Dasar.

Selama ini -di mata dunia internasional- Indonesia sudah dicap sebagai negara yang melakukan social dumping dengan praktik buruh murah dan patuh yang di kirim ke berbagai negara tanpa adanya perlindungan yang jelas terhadap keberlangsungan kehidupan TKI tersebut di negeri orang. Seolah negara melakukan pengorbanan terhadap warga negaranya dengan mengirim ke negara lain tanpa pelatihan dan perlindungan yang memadai. Banyak pihak termasuk LSM yang bergerak dalam advokasi buruh,  menyebut hal ini tak ubahnya perdagangan manusia model baru dengan legitimasi negara didalamnya. Kalau berkaca pada realitanya, masih banyak  TKI yang ke negara lain dengan tidak memiliki dokumen (ilegal) yang tak jarang malah menimbulkan permasalahan sendiri di negara tujuan karena banyak diantaranya yang melakukan perbuatan kriminal untuk bertahan hidup dan ujung-ujungnya masuk ke penjara atau diakhiri dengan tembak mati oleh petugas keamanan negara tersebut. Ibarat kata, mereka hanya pergi dengan pertaruhan kematian, kalau sukses akan sangat menguntungkan dan kalaupun gagal maka akan pulang ke asalnya hanya dengan jasad tanpa nyawa. Sungguh sangat memilukan.

Perlindungan Hukum

Pemerintah sering berkilah telah melakukan berbagai upaya perlindungan TKI-nya dengan berbagai cara termasuk meratifikasi Konvensi ILO tentang TKI dan diterbitkannya UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Namun, keberadaan peraturan tersebut nyatanya belum juga mendatangkan ketenangan bagi TKI dalam bekerja di luar negeri. Selain dengan peraturan tersebut negara juga melakukan perjanjian bilateral dengan negara lain dalam kaitannya dengan TKI, namun sayangnya dengan perjanjian ini pun tidak menemui titik cerah. Indonesia sebagai negara pengirim tentunya akan sulit mencari celah dalam diplomasi pembuatan perjanjian tersebut karena posisi tawar yang lebih rendah sehingga mudah bagi negara tujuan untuk memaksakan kepentingannya.

Baru-baru ini pemerintah bersama DPR telah meratifikasi Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Seluruh Hak-hak  Buruh Migran dan Anggota Keluarganya, yang akan jadi pedoman perbaikan sistem perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Dengan konvensi tersebut Indonesia melalui DPR dapat merevisi UU No. 39 Tahun 2004, agar bisa harmonis dalam pengaturan perlindungan hukum TKI dengan Hukum Internasional. Semoga saja, Konvensi yang baru ini dapat menjadi senjata baru pemerintah dalam menjalankan fungsi perlindungannya terhadap TKI.

Perombakan Sistem

Segala upaya perlindungan ditempuh pemerintah dalam perlindungan TKI, namun disini akan ditegaskan lagi bahwa permasalah sebenarnya ada pada pemerintah dalam hal ini Kemenakertrans. Dengan adanya berbagai kepentingan ekonomi disana-sini menyebabkan kontrol dan pengawasan menjadi lemah. Perombakan sistem harus dimulai dengan political will yang kuat dari pemerintah untuk menininjau ulang alur sistem penempatan TKI dari fase pra, selama dan pemulangan. Apakah sudah sesuai yang aturan yang ada atau hanya law in the book, aturan kosong tanpa adanya penegakan hukum.

Upaya terakhir yang masih mungkin menjadi alternatif pemerintah adalah terkait moratorium  pengiriman TKI ke luar negeri. Masalah TKI bukan hanya tentang daerah atau etnis tertentu, lebih dari itu masalah TKI adalah masalah kemanusiaan. Semoga saja apa yang diharapkan Presiden dalam diakhir pidatonya di ILO terwujud, “Let us work together, to bring about the best possible conditions for the workers of the world. Let us join hands, to make this a new era of social justice.”