Perihal Pembentukan Undang-Undang

Pada kesempatan kali ini saya akan membahas mengenai proses pembuatan Undang-Undang yang kabar saya dengar dalam pembuatan satu UU saja dapat mencapai biaya 2 Milyar. Dalam pembuatan Peraturan UU di Indonesia mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Undang-Undang sendiri adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. Biasanya pembuatan UU dimulai dulu dengan Program Legislasi Nasional yang biasa disebut Prolegnas yaitu instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.

Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara. Sedangkan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan.

Apabila melihat jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan dapat disusun terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Dapat dilihat bahwa kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki tetapi, disini saya tidak akan membahasnya satu-persatu.

Selain itu, dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.

Nah secara umum materi muatan yang harus diatur dengan Undang- Undang berisi:

  1. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
  3. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
  4. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
  5. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Mengenai materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang dan Perda. Ini dapat dipahami karena proses perumusannya melibatkan DPR/DPRD sebagai perwakilan rakyat.

Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR atau Presiden dan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR dapat berasal dari DPD.

Dalam pembuatan aturan tidak bisa dengan main-main, maka dari itu Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik. Yaitu naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.

Akan tetapi, ketentuan Naskah Akademik tidak berlaku bagi Rancangan Undang-Undang mengenai:

  1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
  2. penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang; atau
  3. pencabutan Undang-Undang atau pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

Khusus untuk Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh DPD adalah Rancangan Undang-Undang yang hanya berkaitan dengan:

a. otonomi daerah;

b. hubungan pusat dan daerah;

c. pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah;

d. pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; dan

e. perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Rancangan Undang-Undang dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi atau DPD. Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. Dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang, menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian terkait membentuk panitia antar kementerian dan/atau antar non kementerian. Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

Rancangan Undang-Undang dari DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden. Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas Rancangan Undang-Undang bersama DPR dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima. Menteri mengoordinasikan persiapan pembahasan dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Sedangkan, Rancangan Undang-Undang dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR.

Surat Presiden memuat penunjukan menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang bersama DPR. DPR mulai membahas Rancangan Undang-Undang dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat Presiden diterima.

Untuk keperluan pembahasan Rancangan Undang-Undang di DPR, menteri atau pimpinan lembaga pemrakarsa memperbanyak naskah Rancangan Undang-Undang tersebut dalam jumlah yang diperlukan.

Selanjutnya, dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. Pembahasan Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan:

  1. otonomi daerah;
  2. hubungan pusat dan daerah;
  3. pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah;
  4. pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; dan
  5. perimbangan keuangan pusat dan daerah, dilakukan dengan mengikutsertakan DPD.

Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang dalam hal diatas dilakukan hanya pada pembicaraan tingkat I. Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang diwakili oleh alat kelengkapan yang membidangi materi muatan Rancangan Undang- Undang yang dibahas. DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan. Dua tingkat pembicaraan terdiri atas:

  1. pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus; dan
  2. pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna.

Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut:

  1. Pengantar Musyawarah;

DPR memberikan penjelasan dan Presiden menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR. DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD berasal dari DPR;

Presiden memberikan penjelasan dan fraksi memberikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden; atau Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD berasal dari Presiden.

  1. Pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah

Daftar inventarisasi masalah diajukan oleh Presiden jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR atau DPR jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden dengan mempertimbangkan usul dari DPD sepanjang terkait dengan kewenangan DPD

  1. penyampaian pendapat mini.

Penyampaian pendapat mini disampaikan pada akhir pembicaraan tingkat I oleh:

  1. fraksi;
  2. DPD, jika Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan kewenangan DPD
  3. Presiden.

Dalam hal DPD tidak menyampaikan pandangan dan/atau tidak menyampaikan pendapat mini pembicaraan tingkat I tetap dilaksanakan.

Dalam pembicaraan tingkat I dapat diundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain jika materi Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga lain.

Pembicaraan tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna dengan kegiatan:

  1. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I;
  2. pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan
  3. penyampaian pendapat akhir Presiden yang dilakukan oleh menteri yang ditugasi.

Dalam hal persetujuan tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak. Dalam hal Rancangan Undang-Undang tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, Rancangan Undang-Undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.

Rancangan Undang-Undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPR dan Presiden. Rancangan Undang-Undang yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPR dan Presiden. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali Rancangan Undang-Undang diatur dengan Peraturan DPR.

Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang. Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme khusus yang dikecualikan dari mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang.

Ketentuan mengenai mekanisme khusus dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut:

  1. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diajukan oleh DPR atau Presiden;
  2. Rancangan Undang-Undang tentang diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden; dan
  3. Pengambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut.

 

Pengesahan Rancangan Undang-Undang

Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Penyampaian Rancangan Undang-Undang dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.

Rancangan Undang-Undang disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Dalam hal Rancangan Undang-Undang tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.

Dalam hal sahnya Rancangan Undang-Undang kalimat pengesahannya berbunyi: Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kalimat pengesahan harus dibubuhkan pada halaman terakhir Undang-Undang sebelum pengundangan naskah Undang-Undang ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Dalam setiap Undang-Undang harus dicantumkan batas waktu penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya sebagai pelaksanaan Undang-Undang tersebut. Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.

Referensi :

  1. Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
  2. Undang-undang No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah