Telaah PERMA No. 2 Tahun 2015

Telaah PERMA No. 2 Tahun 2015

Oleh : Taufiq Adiyanto[1]

MA_ilustrasi_arisaputra2Baru-baru ini Mahkamah Agung (MA) menerbitkan salah satu produk hukumnya berupa surat edaran yakni Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana (PERMA). Terbitnya PERMA ini, menurut MA, dalam rangka menyongsong era perdagangan bebas ASEAN yang diprediksi akan banyak menimbulkan sengketa perkara-perkara niaga/bisnis skala kecil yang berujung ke pengadilan.[2] Salah satu visi integrasi kawasan di regional ASEAN yang digagas dengan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), yang akan secara resmi dibuka pada tanggal 1 Januari 2016, memang menimbulkan banyak peluang bisnis, tetapi tak sedikit pula yang menganggap itu sebagai ancaman terutama karena Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia yang kurang bisa bersaing.

Kebijakan baru ini sudah banyak dianut oleh peradilan di luar negeri. Menurut MA, PERMA Gugatan Sederhana ini diadopsi dari sistem peradilan small claim court yang salah satunya diterapkan di London, Inggris.[3] Prosedur baru ini seolah membuka pintu baru bagi para pencari keadilan di Indonesia. PERMA ini adalah terobosan baru dalam sistem peradilan Indonesia. Selama ini gugatan untuk nilai berapapun diajukan melalui prosedur gugatan biasa, sehingga masyarakat pencari keadilan harus berhitung untung dan rugi sebelum menuntut haknya di muka persidangan. Memang lebih baik suatu sengketa/konflik diselesaikan melalui perdamaian, makanya tidak heran bahkan dalam prosedur persidangan ada mediasi di awal dan ditambah pula perdamaian di muka hakim. Akan tetapi bagi orang-orang menengah ke bawah malah cenderung memendam persoalannya yang belum selesai yang akhirnya malah bermuara pada konflik sosial. Dengan PERMA ini sepertinya MA ingin merapungkan persoalan kecil-kecil di masyarakat yang selama ini mandek dan dipendam tersebut.

Sayangnya, kebijakan terbitnya PERMA ini masih saja ada kekurangan. Niat baik ingin menyelesaikan perkara-perkara lebih cepat bisa jadi malah menimbulkan berbagai persoalan baru, tak hanya bagi masyarakat secara umum akan tetapi juga para praktisi hukum di negeri ini khususnya. Dalam tulisan kali ini penulis akan membedah persoalan yang ada dalam PERMA tanpa membatasi lingkup permasalahan. Seharusnya dalam pembuatan kebijakan melihat dari beragam sisi, tak hanya sisi subjek pelaksananya tetapi juga sisi objek yang dikenai kebijakan tersebut agar kelak bisa efektif dan implementatif.

Persoalan pertama yang ingin penulis soroti adalah mengenai pembatasan lingkungan peradilan. Dimana gugatan sederhana hanya dibolehkan melalui peradilan umum yakni pengadilan negeri.[4] Padahal dengan diundangkannya UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (PA) sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 telah memberi kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk dapat memeriksa dan memutus perkara ekonomi syariah, dimana didalamnya juga ada persoalan penuntutan hak. Kewenangan ini pun telah diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2012.

Mengingat bidang ekonomi syariah yang begitu luas dan berkembang pesat, potensi kasus di bidang peradilan agama bisa dibilang juga cukup banyak. Sebagai contoh, dalam mengajukan gugatan wanprestasi yang timbul dari akad-akad syariah (musyarakah, murabahah, ijarah, mudharabah, dan lain-lain) para pihak akan mengajukan ke PA karena merupakan kompetensi absolut dari Pengadilan ini, belum lagi menangani perkara-perkara lainnya seperti waris, gugat cerai, cerai talak, dan sebagainya. Dengan demikian, apabila menggunakan dasar alasan yang sama, seharusnya PERMA ini harus mencakup pula small claim court di lingkungan peradilan agama.

Persoalan kedua yang yang tak kalah pelik adalah bagaimana kalau tergugat tidak terima dengan gugatan sederhana ini padahal relas panggilan sudah sampai ke domisilinya. Melihat pada jangka waktu beracara yang relatif singkat apakah tergugat bisa menyiapkan dokumen dan bukti-bukti sehubungan dengan proses pemeriksaan secara tepat. Advokat saja dalam mempersiapkan kebutuhan sidangnya bisa cukup lama apalagi kalau ternyata tergugat ini tidak didampingi sama sekali oleh advokat. Penggugat tentu dalam hal ini akan lebih diuntungkan karena proses penyiapan yang lebih lama sehingga asumsinya posisinya lebih siap dengan materi gugatannya. Sesuai asas audi et alteram partem bahwa hakim harus mendengar kedua belah pihak secara proporsional maka seyogyanya tergugat diberikan waktu lebih lama untuk memberikan jawaban. Persoalan mengenai jangka waktu ini apabila tidak proporsional bisa menciderai prinsip-prinsip keadilan terutama kepada tergugat.

Persoalan ketiga yaitu mengenai mekanisme pendaftaran kasus yang tidak mengatur mengenai pilihan acara para pihak. Apakah para pihak bisa memilih acara pemeriksaannya sendiri ataukah dipaksakan oleh ketua pengadilan. Apakah suatu kasus yang masuk harus diadili dengan skema sederhana atau biasa ditentukan secara sepihak. Konsep acara ini memang menyerupai konsep Acara Pidana yang mengenal tiga skema pemeriksaan suatu perkara yakni acara singkat, acara cepat dan acara biasa. Akan tetapi kasus perdata tidak bisa disikapi seperti kasus perdata. Kalau perdata terkait erat dengan strategi hukum para pihak, tetapi pidana lebih kental dengan intervensi/kepentingan penguasa (polisi). Dalam perdata, ada pihak yang menginginkan bahwa kasus tertentu diperlama karena terkait dengan strategi hukum para pihak dalam penyelesaian masalah dan ada juga yang menginginkan cepat selesai. Maka dari itu, pengadilan sebaiknya harus memberi ruang kepada para pihak untuk memilih skema penyelesaiannya sendiri.

Persoalan keempat adalah mengenai hakim yang mengadili. Hal ini penting untuk diperhatikan karena rawan adanya gugatan mengenai kewenangan hakim. Mengacu pada aturan yang ada komposisi hakim yang menangani suatu perkara sudah diatur terlebih dahulu dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 11 ayat (1) yang berbunyi :

“Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dengan susunan majelis sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali undang-undang menentukan lain.”

Pada pasal diatas dijelaskan mengenai pengecualian terhadap ketentuan susunan majelis hakim. Sebagai contoh undang-undang yang menentukan lain di sini adalah jumlah hakim dalam pengadilan anak. Berdasarkan Pasal 11 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak maupun Pasal 44 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), dan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, hakim memeriksa dan memutus perkara anak baik dalam tingkat pertama, tingkat banding, maupun tingkat kasasi dengan hakim tunggal.

Dengan demikian, dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pada dasarnya hakim saat memeriksa dan memutus perkara sebagaimana diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman sekurang-kurangnya berjumlah 3 (tiga) orang. Namun bisa jadi kurang atau lebih dari tiga orang, sesuai dengan jenis perkara yang diadili dan diputus oleh hakim yang bersangkutan serta sudah diatur dengan undang-undang. Namun, yang penulis tekankan adalah PERMA ini juga mengatur mengenai pengecualian jumlah majelis hakim, sehingga jelas bahwa PERMA ini bertentangan dengan UU Kekuasaan Kehakiman.

PERMA memang diakui keberadaanya dalam perundang-undangan di Indonesia sesuai UU No 12 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa “jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh …., Mahkamah Agung,…..”

Melihat juga Undang-Undang yang mengatur Mahkamah Agung, mulai dari UU No. 14 Tahun 1985, hingga dua kali perubahannya yakni UU No. 5 Tahun 2004, dan UU No. 3 Tahun 2009 (selanjutnya disebut UUMA). Ada beberapa kewenangan dan tugas yang diberikan Undang-Undang kepada MA, antara lain:

  1. MA memberikan pertimbangan hukum kepada Presiden dalam permohonan grasi dan rehabilitasi (Pasal 14 ayat 1 UUD jo. Pasal 35 UUMA).
  2. MA dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak kepada lembaga tinggi negara yang lain (Pasal 37 UUMA).
  3. MA berwenang memberikan petunjuk di semua lingkungan peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan UU Kekuasaan Kehakiman (Pasal 38 UUMA).

Lalu bagaimana mungkin MA memberikan petunjuk di lingkungan peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan UU Kekuasaan Kehakiman, sedangkan ketentuan yang diberikan bertentangan dengan aturan yang menjadi dasarnya yakni UU Kekuasaan Kehakiman itu sendiri.

Kesimpulannya, dalam terbitnya PERMA ini seperti ada ketergesa-gesaan yang dilakukan MA untuk merespon perkembangan bidang ekonomi. Niatnya memang baik akan tetapi perlu juga dilakukan pengkajian mendalam terhadap berbagai macam peraturan sebelum keputusan terbitnya PERMA ini. PERMA yang ada ini menabrak berbagai peraturan dan juga tidak melihat konteks permasalahan lebih detail.  Menurut penulis, ke depan perlu ada pengaturan PERMA Small Claim Court ini di tingkatan aturan yang lebih tinggi sehingga posisinya menjadi lebih kuat. Sebaiknya isi dari PERMA ini dimasukan ke Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Perdata yang saat ini sedang dalam pembahasan, sehingga menjadi satu kesatuan dengan aturan induknya.

_________________________________________

[1] Junior Associate SAFE Law Firm

[2] http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55d71ac18056b/urgensi-terbitnya-perma-ismall-claim-court-i

[3] http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55d71ac18056b/urgensi-terbitnya-perma-ismall-claim-court-i

[4] Pasal 2 PERMA No. 2 Tahun 2015