Besaran Utang Dalam Hukum Kepailitan Indonesia, Perlukah Diatur?

Rebloged from http://safelawfirm.com/id/indonesia-besaran-utang-dalam-hukum-kepailitan-indonesia-perlukah-diatur.html

indexDalam perkembangan hukum kepailitan, konsep mengenai utang seringkali menuai perdebatan baik dalam tataran akademis maupun praktis. Hal ini disebabkan banyak silang pendapat diantara hakim, pengacara dan para ahli hukum mengenai konstruksi hukum utang yang paling baik seperti apa yang dapat menjamin keadilan bagi kreditor maupun kreditor. Silang pendapat ini muncul sejak adanya beberapa putusan hakim yang berbeda padahal dalam jenis perkara yang sama. Dalam proses acara kepailitan konsep utang memang sangat menentukan, oleh karena tanpa adanya utang tidaklah mungkin perkara kepailitan akan bisa diperiksa. Tanpa adanya utang maka esensi kepailitan menjadi tidak ada karena kepailitan merupakan sarana untuk melikuidasi aset debitor untuk membayar utang-utangnya terhadap para kreditornya. Maka dari itu, utang merupakan raison d’etre dari suatu kepailitan.[1]

Namun demikian, walaupun telah ada perubahan dengan diundangkannya Undang-Undang Kepailitan terbaru yakni Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tetap saja ada saja kekurangan karena undang-undang ini dalam praktek sering disalahgunakan, dimana kepailitan bukan sebagai instrumen hukum untuk melakukan distribusi aset debitor akan tetapi digunakan sebagai alat untuk menagih utang atau bahkan mengancam subjek hukum kendatipun tidak berkaitan dengan utang.

Dalam perkara kepailitan penting diketahui mengenai syarat utang yang seperti apa yang digunakan sebagai dasar pengajuan permohonan pailit yang harus dipenuhi terlebih dahulu apabila seseorang atau suatu badan hukum bermaksud mengajukan permohonan pernyataan pailit melalui Pengadilan. Syarat tersebut harus diketahui terlebih dahulu karena apabila permohonan kepailitan tidak memenuhi syarat-syarat tersebut maka tentu tidak akan dikabulkan oleh Pengadilan.

Saat ini yang berlaku di Indonesia, persyaratan materiil untuk mengajukan perkara kepailitan sangat sederhana, yakni adanya utang yang jatuh tempo yang dapat ditagih yang jatuh tempo sebelum dibayar lunas serta memiliki sekurang-kurangnya dua kreditor. Adanya suatu utang akan dibuktikan oleh kreditor bahwa debito rmempunyai utang yang dapat ditagih. Dengan aturan yang sumir tersebut bisa dikatakan pernyaratan permohonan pernyataan pailit memudahkan pailitnya debitor padahal asas keseimbangan sebagai salah satu asas yang mendasari Hukum Kepailitan haruslah juga diperhatikan, dimana di satu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur, di lain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik.

Dalam prakteknya pranata kepailitan ini lebih banyak digunakan orang untuk menagih utang, karena seperti diketahui bahwa dibanding dengan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri yang lama dan membutuhkan banyak biaya, pranata kepailitan ini lebih efektif dan efisien.

Besarnya nilai utang selalu menjadi perdebatan dikalangan praktisi dan ahli kepailitan. Di satu sisi, pembatasan tersebut dianggap perlu untuk menghindari penggunaan yang semena-mena dari lembaga kepailitan dan melindungi kepentingan debitur dari kreditur yang beriktikad buruk. Hal ini terutama dalam hal kreditur adalah perusahaan kredibel yang memiliki aset yang besar, sementara kreditur merupakan kreditur kecil. Namun disisi lain, tidak boleh ada diskriminasi apapun antara kreditur untuk menggunakan lembaga kepailitan, baik kreditur yang kecil maupun yang besar. Kepailitan ditujukan sebagai alat pemaksa tidak saja bagi debitur kecil tetapi juga debitur besar untuk membayar utangnya.

Hukum kepailitan Indonesia saat ini menganut prinsip utang secara luas, akan tetapi tidak menganut pembatasan jumlah nilai nominal uang seperti yang terdapat dalam sistem kepailitan negara lain. Batasan nominal utang yang dimiliki oleh debitor sebagai syarat permohonan pernyataan pailit penting artinya untuk membatasi jumlah permohonan pernyataan pailit.

Dalam beberapa putusanMahkamah Agung, Hakim Agung sendiri tidak terlalu mempermasalahkan hal ini karena mereka lebih setuju apabila memang tidak ada pembatasan. Utang bagi suatu perusahaan baik besar maupun kecil adalah utang. Bagaimana bisa suatu perusahaan besar tidak mau membayar utang karena jumlahnya yang kecil, perusahaan yang besar ketika beroperasi tidaklah boleh mematikan perusahaan kecil. Lebih jauh lagi dalam memeriksa perkara kepailitan di Mahkamah Agung tidaklah memperhatikan apakah kreditur mempunyai iktikad buruk, hanya apakah utangnya sudah memenuhi pasal yang di tetapkan oleh undang-undang.

Namun bila menengok ke negara lain, di singapura misalnya terdapat persyaratan minimum utang yang dijadikan dasar pengajuan permohonan pailit, yakni sebesar S$ 10.000,- (sepuluh ribu dolar singapura). Hal ini dapat dilihat dalam undang-undangkepailitan singapura angka 61, yakni menyatakan sebagai berikut:[2]

No bankruptcy application shall be made to the court in respect of any debt or debts unless at the time the application is made —

a)      the amount of the debt, or the aggregate amount of the debts, is not less than $10,000;

b)      the debt or each of the debts …..

Demikian pula dalam hukum kepailitan hongkong terdapat pembatasan nilai minimum utang sebagai dasar pengajuan pailit, yakni sebesar HK$ 10.000,-.[3]

Grounds of creditor’s petition:

2)      Subject to sections 6A to 6C, a creditor’s petition may be presented to the court in respect of a debt or debts if, but only if, at the time the petition is presented-

a)      the amount of the debt, or the aggregate amount of the debts, is equal to or  exceeds $10000 or a prescribed amount;

b)      the debt, or each of the debts, ……

Masing-masing negara mempunyai politik hukum yang berbeda, dan berakibat berbedanya asas dasar suatu aturan. Salah satu perbedaan yang berdampak pada hukum kepailitan adalah dasar pengajuan, apabila di negara lain kepailitan subjek hukum didasarkan pada ‘kemampuan’ sehingga aset dari si debitor menjadi pertimbangan dalam mengenakan status pailit. Sebagai contoh pengaturan mengenai pengajuan permohonan pailit di Amerika Serikat sebagaimana dalamTitle II United States Bankcruptcy Code terdapat klausula “Insolvent” yang mana dalam Bankcruptcy Code tersebut diartikan antara lain sebagai keadaan keuangan dari debitor yang lebih besar utangnya daripada asetnya dan dapat dibuktikan dengan Insolvency Test. Namun  di Indonesia kepailitan subjek hukum didasarkan pada ‘kemauan’, jadi apakah ia masih mempunyai aset yang lebih besar dari utang itu tidak diperhatikan, asalkan pada saat itu si debitur tidak mau membayar utangnya kepada kreditur yang telah jatuh tempo dan memenuhi seluruh unsur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, si debitur dapat dipailitkan.

Menurut penulis besaran jumlah utang dimaksudkan untuk membatasi permohonan pailit terhadap kreditor yang tersebut dalam proses pembagian harta pailit sama dengan kreditor lainnya secara memiliki jumlah utang yang sedikit (dibawah minimum) dan pembatasan skala penanganan kepailitan. Disamping itu pula, pembatasan tersebut ditujukan sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap kreditor mayoritas dari kesewenang-wenangan kreditur minoritas.


[1]Hadi subhan, 2009, Hukum Kepailitan : Prinsip, Norma dan Praktek di Peradilan, Kencana, Jakarta, hlm. 34.

[2] Singapore Bankruptcy Act (CHAPTER 20), Original Enactment: Act 15 Of 1995, Revised Edition 2009 (31st October 2009), Number 61.

[3]Hongkong Bankruptcy Ordinance, Chapter 6, Date June 30th 1997